Oleh: Nabella Putri Lestari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pada siang hari itu, saya mengikuti program Kemenkeu Mengajar di Sekolah Menengah Pertama X. Kebetulan, saya adalah salah satu relawan pengajar yang memiliki kesempatan untuk mengenalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau biasa dikenal dengan #UangKita kepada siswa-siswi.

Saat saya sedang menjelaskan penerimaan APBN yaitu pajak, saya tergerak untuk melemparkan pertanyaan kepada siswa-siswi dengan iming-iming biskuit coklat bagi yang berani menjawab.

“Apakah ada yang sudah berperan membayar pajak untuk penerimaan negara?” tanya saya penasaran.

Hampir seluruh siswa-siswi menggeleng-gelengkan kepalanya dan menjawab belum pernah. Namun, ada satu siswa laki-laki, tanpa rasa malu ia berdiri dengan percaya diri dan menjawab pertanyaan dengan lantang.

“Saya pernah, Kak, kalau belanja di minimarket,” jawabnya.

Jujur, mendengar pernyataannya membuat saya terkejut.

“Wah, ada juga ya yang bisa jawab pertanyaan ini sesuai dengan ekspektasi jawaban saya,” ucap saya dalam hati.

Kemudian saya mengapresiasinya dengan memberikan hadiah dua buah biskuit coklat yang saya janjikan. Kemudian, pengetahuan dan  jawabannya ini membuat saya tertarik dan tergerak untuk menulis dan mengulas lebih lanjut terkait pembayaran pajak yang ada pada struk pembelian minimarket.

Pastinya, Kawan Pajak juga sudah tidak asing lagi bukan?

Ya, pajak yang tertera pada struk pembelian ini adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Lantas, mengapa terdapat pajak PPN pada setiap pembelian barang ataupun makanan minuman pada struk minimarket?

Pajak Pertambahan Nilai

Pertama, melalui definisinya, PPN adalah pajak yang dikenakan terhadap transaksi jual beli baik barang ataupun jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Nah, untuk pelaku usaha seperti kios, toko, minimarket termasuk  PKP khususnya pedagang eceran lho. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang  Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM). Belakangan, UU PPN ini diperbarui dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam Peraturan Pemerintah ini khususnya pada Pasal 20 ayat (3) dijelaskan bahwa Pedagang Eceran adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha dengan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) melalui tiga cara, yaitu:

  1. Penjualan melalui tempat eceran atau langsung mendatangi konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya.
  2. Penjualan dilakukan langsung kepada konsumen akhir tanpa didahului dengan kontra ataupun lelang.
  3. Penyerahan BKP dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membwa BKP yang dibelinya.

Konsumen akhir sendiri adalah pembeli yang mengkonsumsi secara langsung barang yang dibeli yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan produksi maupun perdagangan.

Pajak Restoran

Atas transaksi jual beli antara penjual kepada konsumen ini, masih banyak masyarakat yang bingung membedakan antara pajak PPN yang ada di minimarket dan pajak restoran. Walaupun sama-sama terkait penjualan barang dan makanan, keduanya sangat berbeda lho Kawan Pajak! Jangan sampai tertukar dalam memahaminya, ya.

PPN yang sudah kita bahas ini termasuk pajak pusat yang akan masuk ke dalam APBN. Pajak pusat sendiri adalah pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sifatnya lebih luas untuk pembangunan negara. Sedangkan, pajak daerah adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah dengan sifatnya spesifik mengacu pada wilayah masing-masing daerah dan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Nah, kalau pajak daerah sendiri terdiri dari pajak kendaraaan bermotor, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Untuk pajak restoran sendiri dikecualikan dari PPN. Hal ini didasarkan pada Pasal 4A UU PPN/PPnBM jo. UU HPP, yang menjelaskan bahwa makanan dan minuman yang disajikan di restoran, hotel, rumah makan dan sejenisnya dikecualikan dari PPN.

Pajak restoran sendiri diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Pajak daerah ini merupakan wewenang pemungutannya yang berada di Pemerintah Kabupaten/Kota.

Jadi, pada intinya struk pembelian makanan atau minuman di restoran maupun cafe bukan termasuk PPN ya Kawan Pajak.. Melainkan termasuk pajak restoran yang termasuk kategori pajak daerah.

Jadi, pajak restoran berbeda dari PPN, yang termasuk dalam kategori pajak pusat yang akan digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan dan pemerintahan secara keseluruhan. Saat ini, PPN dipungut dengan tarif sebesar 11% dan nantinya akan naik menjadi 12% per 1 Januari 2025.

Pembebasan PPN

Walau menuai pro dan kontra atas penyesuaian tarif PPN ini, terdapat pula pemberian fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan barang dan jasa tertentu. Misalnya saja penyerahan barang atau jual beli atas barang-barang yang menjadi kebutuhan pokok seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran tidak dikenakan atau bebas dari PPN. Hal ini mengingat barang-barang pokok tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Adapun, penyerahan atas jasa sendiri dibebaskan dari PPN seperti penyerahan jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan.

Selain itu, pemerintah turut memberikan pembebasan PPN atas impor penyerahan barang/jasa strategis  tertentu seperti pada sektor industri manufaktur, pertanian, peternakan, kesehatan dan pendidikan. Hal ini diberlakukan untuk mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi dan mendukung iklim investasi di Indonesia agar terus berkembang.

Sebenarnya, tanpa kita sadari, atas PPN yang kita bayarkan, kita sudah berkontribusi terhadap penerimaan negara. Walau manfaatnya tidak bisa dirasakan secara langsung, pajak ini akan digunakan untuk berbagai kebutuhan negara seperti pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan pelayanan publik lainnya.