Oleh: Muhammad Fikri Ali, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Buat apa saling memaafkan jika tidak bermusuhan” -Nurhadi-Aldo-
Alkisah, terdapat seorang pegawai bernama Fulan. Ia seorang pegawai yang bekerja di institusi pemerintah di Kota X. Fulan termasuk ke dalam segelintir pegawai yang tidak pulang kampung ketika sedang ada cuti bersama nasional sejak 29 April hingga 8 Mei. Semua berjalan begitu lancar di awal cuti bersama. Namun, ketika sedang menjalani hari-hari pascalebaran, ia mendapati kesulitan untuk mencari makanan jadi.
Usut punya usut, asal daerah pemilik modal penjual makanan jadi yang ada di daerah tersebut berasal dari luar kota. Alhasil, ketika terjadi libur cuti bersama yang cukup panjang terjadilah apa yang disebut dengan kekacauan-sumber-makanan-jadi. Bagi penduduk lokal kejadian tersebut sudah mafhum adanya. Hal yang sama tidak berlaku bagi pendatang seperti Fulan. Penduduk lokal mengantisipasinya dengan terlebih dahulu melakukan penimbunan bahan makanan secara wajar.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah di atas adalah –selain pentingnya melakukan penimbunan secara wajar– pentingnya memahami struktur pemilik modal penjual makanan jadi di suatu daerah. Jika kejadian ini dilihat menggunakan perspektif makroekonomi, maka hal yang sama juga berlaku di suatu negara. Bukan, tulisan ini bukan mengajak pemerintah untuk membuat kebijakan mengatur batas seperti Presidential Threshold yang ada di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tulisan ini bertujuan untuk merenungi bersama faedah pajak, khususnya pajak sebagai tulang punggung independensi perekonomian negara.
Postur APBN 2022
Dalam infografis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 terdapat tiga variabel utama, yakni Pendapatan Negara, Belanja Negara, dan Defisit dan Pembiayaan Anggaran. Secara sederhana, Pendapatan Negara adalah pemasukan bagi Indonesia; Belanja Negara adalah pengeluaran bagi Indonesia; dan Defisit dan Pembiayaan Anggaran adalah ‘tambalan’ yang dilakukan di Indonesia untuk mengatasi ketidakseimbangan yang terjadi antara Pendapatan Negara dengan Belanja Negara.
Pendapatan Negara memiliki nilai yang cukup besar, yakni Rp1.846,1 triliun. Dalam variabel Pendapatan Negara terdapat tiga variabel utama dengan Penerimaan Perpajakan menempati porsi paling besar, yakni sebesar Rp1.510 triliun. Penerimaan Perpajakan itu sendiri –secara sederhana– adalah penerimaan negara yang terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri dan perdagangan internasional.
Terlihat secara gamblang, bahwa Penerimaan Perpajakan menempati 81,79% Pendapatan Negara. Sesuai dengan yang telah dituliskan dalam paragraf sebelumnya, bahwa dalam 81,79% memiliki faktor penyusun berupa pendapatan pajak dalam negeri. Pemerintah pun dalam mengambil pajak dari aktivitas ekonomi, mengedepankan asas kenyamanan (convenience of payment) agar tidak mengganggu keberlanjutan (sustainability) aktivitas ekonomi yang ada.
Artinya, hanya ketika kondisi perekonomian dalam negeri suatu negara bagus, pemerintahnya baru dapat mengoptimalkan potensi perpajakan dalam negerinya. Apabila kondisi perekonomian dalam negeri suatu negara carut marut dan ‘berdarah-darah’, maka implikasi logisnya adalah pemerintah tidak dapat memaksimalkan eksternalitas perekonomian dengan optimal.
Seorang kepala rumah tangga akan bingung untuk mengambil keputusan jika anggota keluarganya mengalami gejolak rumah tangga. Hal yang sama juga berlaku bagi pemerintah yang akan kesulitan dalam mengambil keputusan bilamana dihadapkan pada gejolak perekonomian. Oleh karenanya, pemerintah dalam merancang APBN membuat asumsi dasar ekonomi makro untuk menjadi standar acuan yang paling mungkin dihadapi oleh Indonesia selama berlangsungnya APBN nantinya.
Bayangkan juga apabila pemerintah dalam menyusun Pendapatan Negara mengedepankan porsi hasil perdagangan internasional, maka struktur Pendapatan Negara tidak akan jauh-jauh dari dinamisnya perekonomian internasional. Tapering Federal Reserve (The Fed), Deb limit/ceiling, konflik Timur Tengah, Brexit, hingga perang ideologi Blok Barat dan Blok Timur adalah beberapa contoh faktor-faktor yang akan menyebabkan naik turunnya ekonomi Indonesia apabila menjadikan perdagangan internasional sebagai tiang utama Pendapatan Negara.
UU HPP
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi salah satu omnibus law yang diharapkan dapat menjaga risiko APBN agar tetap rendah dan rasio utang senantiasa terjaga.
Guna mencapai penerimaan perpajakan yang sehat dan berkelanjutan, terdapat empat pilar, antara lain: adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Pilar yang berkaitan erat dengan keterlibatan pendapatan pajak dalam negeri adalah pilar sehat. Dalam pilar tersebut, pemerintah mengusahakan agar sumber penerimaan perpajakan optimal, adaptif terhadap perubahan, dan sesuai dengan best practice.
Tujuan dari adanya pilar sehat adalah agar independesi pemerintah Indonesia senantiasa terjaga. Bukankah lebih baik menjadi seseorang yang dapat berdiri di atas kaki sendiri daripada berdiri dengan bergantung kepada pihak lain?
Tanpa perlu dijawab, saya yakin hati nurani kita akan mengamini pertanyaan retorik di atas. Tabik.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Leave A Comment