Oleh: Desak Putu Sri Shania Aprilia, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pemerintah Indonesia mendorong optimalisasi pendapatan melalui reformasi perpajakan yang dituangkan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Salah satu ketentuan dalam UU HPP ini mencantumkan adanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berlaku dari 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022.
PPS merupakan salah satu program dalam UU HPP yang memberikan kesempatan kepada wajib Pajak untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela berdasarkan pengungkapan harta yang dimiliki wajib pajak. PPS memiliki dua fungsi penting secara ekonomi, yaitu potensi untuk mendapatkan sumber investasi baru dalam membiayai pembangunan ekonomi dan perluasan basis perpajakan nasional.
Menjelang batas akhir PPS pada 30 Juni 2022 mendatang, account representative di seluruh kantor pajak di Indonesia berbondong-bondong mengirim surat imbauan kepada wajib pajak untuk mengikuti PPS. Pada dasarnya, wajib pajak dapat memilih ingin ikut PPS atau melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan atas harta yang belum diungkapkan atau dilaporkan dengan benar.
PPS vs Pembetulan SPT Tahunan
Tak dapat dimungkiri, dalam pelaporan SPT Tahunan wajib pajak bisa saja keliru dalam pengisiannya. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memberikan jalan atas kekeliruan tersebut. Wajib pajak berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak (DJP) belum melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada wajib pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari wajib pajak.
Pada ketentuan lain, apabila pembetulan SPT menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama dua tahun sebelum daluwarsa penetapan, yaitu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak.
Dalam hal wajib pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Tarif bunga perbulan yang tetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% dan dibagi 12 yang berlaku pada tanggal dimulainya perhitungan sanksi.
Melalui aturan baru dalam UU HPP selain pembetulan SPT Tahunan, DJP memberikan kesempatan wajib pajak untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan berupa harta yang belum dilaporkan melalui PPS. Adapun syarat wajib pajak dapat mengikuti PPS Kebijakan I antara lain, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang DJP belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud, harta sebagaimana dimaksud merupakan harta yang diperoleh wajib pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
Selain PPS Kebijakan I, wajib pajak juga diberi kesempatan untuk mengikuti PPS Kebijakan II. Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengungkapkan harta bersih atas perolehan aset sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 dapat menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta dengan memenuhi persyaratan seperti memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), membayar Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final atas pengungkapan harta bersih, menyampaikan SPT Tahunan 2020, dan mencabut permohonan-permohonan lain dalam hal wajib pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.
Selain persyaratan tersebut, Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengungkapkan harta bersih atas perolehan aset sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: tidak sedang dilakukan pemeriksaan untuk tahun pajak 2016-2022, tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016-2022, tidak sedang dilakukan penyidikan atas tindak pidana di bidang perpajakan, tidak sedang berada dalam proses peradilan atas tindak pidana di bidang perpajakan, dan/atau tidak sedang menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan.
PPS, Kesempatan Menguntungkan Bagi Wajib Pajak
Berdasarkan data DJP, jumlah wajib pajak yang telah mengikuti PPS hingga pertengahan Juni 2022 sudah mencapai 68.762 wajib pajak dengan nilai sebesar Rp14,47 triliun. Adapun nilai harta bersih yang dideklarasikan dalam program ini adalah sebesar Rp144,40 triliun. Nilai harta bersih yang dideklarasikan tersebut terdiri dari deklarasi dalam negeri dan repatriasi sebesar Rp125,56 triliun, investasi sebesar Rp7,49 triliun, dan deklarasi luar negeri sebesar Rp11,14 triliun.
PPS merupakan sebuah kesempatan yang menguntungkan bagi wajib pajak. Adapun manfaat mengikuti PPS bagi wajib pajak dalam Kebijakan I yaitu tidak dikenai sanksi Pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak (200% dari PPh yang kurang dibayar), data/informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan dengan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Adapun manfaat mengikuti PPS Kebijakan II yaitu tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban 2016-2020, kecuali ditemukan harta kurang diungkap, data/informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan dengan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
Pada dasarnya yang menjadi objek adalah penghasilan, tetapi karena kita tahun karena waktu berjalan bertahun-tahun tentu saja tidak mudah mengukur penghasilan tersebut, maka diambil residu atau sisa penghasilan yg tercermin dalam harta yang dimiliki wajib pajak. Penghasilan wajib pajak tentunya akan digunakan untuk dua hal yaitu konsumsi dan mendapatkan harta atau menambah kekayaan.
PPS merupakan sebuah kesempatan emas bagi wajib pajak yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar. Hal ini penting dikarenakan beberapa alasan, salah satunya saat ini pemerintah memiliki data yang sangat luas NIK dalam Kartu Tanda Pengenal (KTP) dijadikan identitas tunggal untuk mengganti NPWP dan penerapan big data analitics dalam menilai kepatuhan pajak.
Selain itu, tarif pajak di PPS lebih rendah dari tarif normal. Peserta PPS juga mendapatkan kepastian hukum, seperti tidak akan dilakukan pemeriksaan, tidak terkena sanksi 200%, dan tidak dilakukan penegakan hukum sehingga mitigasi risiko perpajakan lebih signifikan.
Wajib pajak yang memilih untuk melakukan pembetulan SPT maka saat dilakukan pemeriksaan pajak ke depan akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum, yaitu atas penghasilan yang pajaknya belum atau kurang dibayar. Bila wajib pajak mengikuti PPS, pajak dikenakan atas harta yang dideklarasikan oleh wajib pajak sendiri. Pada akhirnya, PPS akan lebih menguntungkan wajib pajak dibandingkan dengan membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum.
Yuk segera ikut PPS! Mari berkontribusi nyata untuk Indonesia secara adil, gotong royong, dan setara melalui PPS.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Leave A Comment