Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Jika ada yang bertanya kepada Anda, apa perbedaan antara mengungkapkan perasaan kepada orang yang diam-diam Anda sayang dan mengungkapkan harta dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS), dapatkah Anda menjawab pertanyaan tersebut? Atau sebaliknya, jika ditanyakan persamaan di antara kedua hal tersebut, bagaimana jawaban Anda?

Beberapa dari Anda mungkin dengan mudah dapat menjawab persamaan antara mengungkapkan perasaan kepada orang yang disayang dan mengungkapkan harta dalam PPS adalah bahwa keduanya menyebabkan hati menjadi plong dan tenang karena tidak ada lagi yang ditutupi.

Bagaimana dengan perbedaannya? Jika kita mengungkapkan perasaan kepada orang yang diam-diam kita sayangi, maka akan ada dua kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Pertama, orang yang kita sayangi itu akan menyambut baik ungkapan perasaan kita karena juga memiliki perasaan yang sama terhadap kita. Kemungkinan kedua, orang yang kita sayangi ternyata tidak memiliki perasaan yang sama dengan kita dan cinta kita bertepuk sebelah tangan. Artinya ada kemungkinan hasil yang positif dan negatif atas ungkapan perasaan yang kita kemukakan.

Berbeda dengan hal tersebut, pengungkapan harta dalam PPS tidak akan memberikan hasil yang negatif bagi wajib pajak. Sebaliknya, wajib pajak akan menerima hasil yang positif karena manfaat yang akan diterima oleh wajib pajak dengan mengikuti PPS. Ini adalah alasan kuat bagi wajib pajak untuk tidak membiarkan PPS ini lewat tanpa mengikutinya.

Sebagaimana kita ketahui bersama, PPS telah berlangsung sejak tanggal 1 Januari 2022 sebagai bentuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Undang-Undang ini pula yang telah mengatur bahwa PPS ini hanya akan berlangsung selama enam bulan, sehingga, program ini akan berakhir pada tanggal 30 Juni 2022. Artinya, wajib pajak yang belum mengikuti PPS hanya ada waktu kurang dari sebulan lagi untuk mengikutinya.

PPS sendiri terdiri atas dua kebijakan yang dapat diikuti oleh wajib pajak tergantung dari tahun perolehan harta yang akan diungkapkan. Kebijakan pertama dapat diikuti oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan yang merupakan peserta dari Program Pengampunan Pajak yang telah berlangsung pada tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Harta yang diungkapkan dalam kebijakan ini adalah harta per tanggal 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan wajib pajak saat mengikuti Program Pengampunan Pajak. Atas pengungkapan harta ini, wajib pajak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif 11% untuk deklarasi luar negeri, 8% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri, serta 6% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri yang diinvetasikan dalam Surat Beharga Negara (SBN)/kegiatan usaha sumber daya alam/renewable energy.

Kebijakan kedua dapat diikuti hanya oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan harta yang diungkapkan adalah harta yang diperoleh pada tahun 2016 sampai dengan 2020 yang belum dilaporkan di Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak 2020. Atas pengungkapan harta ini, wajib pajak dikenakan tarif PPh Final yang lebih besar dari kebijakan pertama, yaitu 18% untuk deklarasi luar negeri, 14% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri, serta 12% untuk harta luar negeri repatriasi dan harta dalam negeri yang diinvetasikan dalam Surat Beharga Negara (SBN)/kegiatan usaha sumber daya alam/renewable energy.

Dengan mengikuti PPS ini, tentunya ada banyak manfaat yang dapat diperoleh oleh wajib pajak. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak mengatur hal-hal terkait perlakuan atas harta yang belum atau kurang diungkap dalam Pengampunan Pajak. Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.”

Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (3) disebutkan bahwa “Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.”

Salah satu manfaat dari mengikuti kebijakan pertama PPS adalah wajib pajak akan terhindar dari pengenaan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK/03/2021 tentang Tata Cara Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Selanjutnya, manfaat lain adalah wajib pajak yang mengikuti kebijakan kedua PPS tidak akan diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban pajak tahun pajak 2016 sampai dengan 2020, kecuali ditemukan data/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkap. Hal ini telah dijelaskan dalam Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK/03/2021 tentang Tata Cara Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak. Selain itu, wajib pajak yang mengikuti PPS, baik kebijakan pertama maupun kedua, akan menerima manfaat bahwa data dan/atau informasi yang diungkapkan dalam PPS ini tidak bisa dijadikan dasar penyelidikan dan/atau penuntukan pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 22 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK/03/2021 tentang Tata Cara Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Alasan-alasan di atas sebenarnya sudah cukup menjadi alasan wajib pajak untuk tidak melewatkan PPS ini. Cepat atau lambat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mengetahui harta wajib pajak yang belum diungkapkan. Terlebih saat ini DJP telah menjalin kerja sama dengan banyak instansi di dalam negeri untuk mendapatkan data dan/atau informasi terkait harta yang dimiliki oleh wajib pajak. Terkait data harta wajib pajak yang ada di luar negeri, Indonesia juga telah bergabung dalam 108 negara yang akan mengirimkan data-data wajib pajak terkait ke negara-negara partisipan secara otomatis terkait program Automatic Exchange of Information (AEoI).

Hal ini menjadikan PPS sebagai pilihan terbaik bagi wajib pajak untuk segera diikuti sebelum program ini berakhir secara resmi pada tanggal 30 Juni 2022. Waktu yang kurang dari sebulan ini perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh wajib pajak untuk segera mengikuti PPS. Sanksi administrasi perpajakan yang lebih besar telah menanti jika wajib pajak memiliki harta yang belum diungkap, tetapi melewatkan kesempatan untuk mengikuti PPS. Segera hubungi kantor pajak terdekat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut terkait PPS ini. Ikut PPS sekarang, jangan sampai ketinggalan.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.