Oleh: Abdul Aziz, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam sistem perpajakan Indonesia, dikenal tiga sistem pemungutan pajak yaitu Self Assessment System, Official Assessment System, dan Withholding Assessment System.

Self Assesment System merupakan sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar serta melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang, sedangkan apabila besarnya pajak yang terutang tersebut ditentukan oleh petugas pajak maka disebut Official Assessment System.   

Pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 merupakan salah satu contoh penerapan Withholding Assessment System, yaitu sistem pemungutan perpajakan yang memberikan mandat kepada pihak ketiga (selain wajib pajak maupun petugas pajak) untuk menghitung serta menyetorkan jumlah pajak yang terutang atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak penerima penghasilan. Contoh mudahnya adalah, pemberi kerja diberi mandat untuk menghitung serta menyetorkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diperoleh karyawannya.

PPh Pasal 21 merupakan pajak yang terutang atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 dapat di simpulkan bahwa penerima penghasilan dibagi dalam dua kriteria yaitu PNS/Pejabat Negara dan Non PNS sedangkan untuk jenis pegawai sendiri dapat dibagi kedalam empat kriteria yaitu pegawai tetap, pegawai tidak tetap, bukan pegawai, dan peserta kegiatan. Dalam artikel kali ini penulis akan berfokus pada kewajiban pemberi kerja terhadap penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap.

Sebagai pemberi kerja ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan terkait dengan pembayaran penghasilan kepada pegawai tetap, kewajiban tersebut antara lain:

  1. Pemotongan PPh Pasal 21
  2. Penyetoran PPh Pasal 21 yang telah dipotong
  3. Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21
  4. Penerbitan bukti potong PPh Pasal 21

 

Pemotongan PPh Pasal 21

Kewajiban pertama yang harus dilakukan oleh pemberi kerja adalah melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawainya. Dalam hal penghasilan diterima oleh pegawai tetap, maka penghasilan tersebut akan dikenakan pajak sesuai dengan tarif yang diatur dalam UU Perapajakan dikalikan dengan penghasilan yang nilainya sudah diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Besaran tarif PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dikenakan sesuai dengan lapisan penghasilan yang diterimanya, semakin tinggi penghasilan yang diperoleh maka semakin besar pula tarif yang diterapkan untuk menghitung pajaknya.

Penyetoran PPh Pasal 21 yang Telah Dipotong

Pemberi kerja  yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21 wajib melakukan penyetoran PPh Pasal 21 paling lambat adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Penyetoran PPh Pasal 21 dilakukan dengan terlebih dahulu membuat kode billing, yang bisa diakses pada menu bayar di akun situs web pajak masing-masing pemberi kerja.

Apabila pemberi kerja terlambat menyetor pajak yang telah dipotong maka atas keterlambatan pembayaran tersebut akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga dengan besaran bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang terlambat dibayar yang dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran.

Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21

Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 merupakan kewajiban selanjutnya yang harus dilaksanakan oleh pemberi kerja, SPT Masa PPh Pasal 21 harus dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.

Pelaporan PPh Pasal 21 hanya dilakukan apabila terdapat pajak yang dipotong. Apabila PPh yang dipotong nihil, maka pemberi kerja tidak perlu melakukan pelaporan. Namun, apabila dalam satu tahun pajak, tidak ada pemotongan PPh Pasal 21, pemberi kerja tetap harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk masa Desember. Dalam hal pelaporan dilakukan setelah tanggal 20 bulan berikutnya, maka atas keterlambatan lapor tersebut akan diterbitkan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000,00.

Penerbitan Bukti Potong PPh Pasal 21

Kewajiban memotong, menyetor, dan malapor merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemberi kerja sebagai bentuk pelaksanaan Withholding Assessment System. Selain itu, pemberi kerja masih mempunyai kewajiban kepada pegawai yaitu menerbitkan bukti potong PPh Pasal 21.  Secara sederhana bukti potong adalah dokumen yang diterbitkan oleh pemotong pajak (pemberi kerja) yang menjadi bukti bagi penerima penghasilan (pegawai) bahwa atas penghasilan yang diperolahnya sudah dipotong pajak.

Untuk penghasilan yang bersifat rutin yang diberikan kepada pegawai tetap, pemberi kerja tidak perlu menerbitkan bukti potong setiap masa pajak. Bukti potong hanya diterbitkan pada akhir tahun yang berbentuk formulir 1721-A1 untuk pegawai swasta dan formulir 1721-A2 untuk Pegawai Negeri Sipil atau TNI/Polri dan pensiunannya.

Bukti potong PPh Pasal 21 digunakan sebagai lampiran saat penerima penghasilan melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Oleh sebab itu, bukti potong harus diterbitkan segera setelah tahun pajak berakhir karena batas akhir pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi adalah akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak atau 31 Maret tahun berikutnya.

Tahun 2022 akan segera berakhir, tahun baru 2023 akan menjelang. Setiap awal tahun, Direktorat Jenderal Pajak akan mengirimkan jutaan surel kepada para pemotong pajak untuk menerbitkan bukti potong PPh Pasal 21. Imbauan itu untuk memberikan kemudahan dan kesempatan kepada para pegawai pemberi pekerja untuk dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan tepat waktu.

Sudah saatnya, pemberi kerja mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak—salah satunya—dengan cara seperti itu.