Oleh: Banon Keke Irnowo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Memasuki era ketatnya persaingan usaha, pengusaha saat ini cenderung mengurangi risiko-risiko yang ditanggungnya. Model bisnis maklon banyak menjadi alternatifnya. Di samping risiko yang ditanggung kecil, model bisnis ini juga ramah bagi pemodal kecil yang sesuai dengan karakter modal di Indonesia.
Selain itu, gencarnya pemerintah dalam memberikan insentif perpajakan di masa bangkit dari pandemi ini juga mengakselerasi perkembangan model bisnis ini ke depan. Maka, menarik untuk memahami aspek perpajakan yang terkait seputar kegiatan usaha jasa maklon.
Sebagai awalan, jasa maklon sejatinya tidak pernah dikelompokkan ke dalam salah satu jenis Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) mana pun. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ./2022 terkait KLU tidak satu pun menyebut nama jasa maklon sebagai istilah. Maka, kita perlu memberikan konteks bahasan di sini sebatas jasa maklon sebagai objek pajak yang bisa saja dikaitkan KLU mana pun.
Setidaknya ada tiga aspek perpajakan terkait jasa maklon. Ada dua aspek terkait Pajak Penghasilan (PPh) yaitu PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 15. Selebihnya terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pertama, aspek PPh Pasal 23. Pengategorian jasa maklon sebagai objek pajaknya dapat ditemukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf C angka 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Definisi jasa maklon berdasarkan beleid ini merujuk pada pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan). Kedua, yang spesifikasi, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa. Ketiga, kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
Karena merupakan bagian dari mekanisme pemugutan pihak ketiga (withholding), perlu kehati-hatian siapa yang berkewajiban memotong dan menyetorkan ke negara. Penerima jasa diharuskan memotong PPh Pasal 23 kepada pemberi jasa sebesar 2% dari jumlah bruto.
Selanjutnya aspek kedua yaitu PPh Pasal 15. Menarik membahas bagian ini, jasa maklon diatur lebih khusus sebagai lex spesialist. Secara filosofis, PPh Pasal 15 bersifat final dan digunakan untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan wajib pajak tertentu.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 543/KMK.03/2002 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto dan Cara Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Melakukan Kegiatan Usaha Jasa Maklon (Contract Manufacturing) Internasional di Bidang Produksi Mainan Anak-Anak disebutkan bahwa jenis jasa maklon ini memiliki karakteristik khusus yang masuk Pasal 15.
Subjek pajak yang masuk dalam definisi beleid ini adalah wajib pajak badan dalam negeri yang melakukan jasa pembuatan atau perakitan barang berupa produk mainan anak-anak, dengan bahan-bahan, spesifikasi, petunjuk teknis dan penentuan imbalan jasa dari pihak pemesan yang berkedudukan di luar negeri dan mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak.
Terdapat syarat subjektif untuk dapat masuk dalam pengenaan Pasal 15 ini, yaitu lawan transaksinya berkedudukan di luar negeri dan lawan transaksinya juga harus afiliasi. Ini yang membedakan Pasal 15 ini dengan jasa maklon dalam PPh Pasal 23 dipembahasan sebelumnya.
Norma Penghitungan Khusus yang digunakan ditetapkan sebesar 7%. Tarif ini dihitung dari jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku (direct materials). Setelah mendapatkan penghasilan neto berupa imbalan jasa maklon internasional ini, baru kemudian dikalikan tarif pajak PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh untuk menghitung pajak terutangnya. Tentunya, untuk tahun 2022 tarifnya sebesar 22%. Apabila diringkas, tarif efektif yang berlaku menjadi 1,54%, yaitu hasil dari perkalian 7% tarif norma dengan 22% tarif pajak terutang.
Aspek yang terakhir adalah PPN. Jasa maklon tergolong Jasa Kena Pajak yang terutang PPN 11%. Hanya saja, sesuai prinsip destinasi konsumsi. Jasa maklon yang peruntukannya untuk digunakan di luar pabean seperti contoh Jasa Maklon Internasional Pasal 15 pada pembahasan sebelumnya, akan dikenakan tarif fasilitas 0%.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.010/2019 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas Ekspornya dikenai PPN Jasa Maklon harus memenuhi empat kriteria. Pertama, spesifikasi dan bahan baku dan/ atau bahan setengah jadi disediakan oleh Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak. Kedua, bahan baku dan/ atau bahan setengah jadi akan diproses untuk menghasilkan Barang Kena Pajak. Ketiga, kepemilikan atas Barang Kena Pajak yang dihasilkan berada pada Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak. Keempat, pengusaha jasa maklon mengirim Barang Kena Pajak yang merupakan hasil pekerjaannya ke luar Daerah Pabean dengan menggunakan mekanisme ekspor barang.
Jadi, aspek perpajakan atas jasa maklon meliputi tiga aspek, yaitu PPh Pasal 23, PPh Pasal 15 dan PPN. Ditemukan dua kesamaan kriteria dalam membedakan jasa maklon dengan jasa lain baik dalam PPh maupun PPN. Pertama, apabila spesifikasi dan bahan baku dan/atau bahan setengah jadi disediakan oleh penerima jasa. Kedua, apabila kepemilikan atas produk yang dihasilkan juga berada pada penerima jasa. Inilah yang membedakan jasa maklon dengan jasa lain.
Leave A Comment