Oleh: Renaldy Cendana, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Di triwulan pertama tahun 2022 efek perubahan iklim sudah terasa, menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Maret 2022 saja tercatat telah terjadi 1.019 bencana alam di Indonesia. Banjir menjadi bencana yang paling banyak terjadi (418 kejadian), disusul cuaca ekstrem (350 kejadian), tanah longsor (194 kejadian), dan kebakaran hutan (44 kejadian).
Karena telah hadir di depan mata, perubahan iklim sudah tak bisa lagi kita pandang sebelah mata. Kenaikan suhu global dari tahun ke tahun yang melonjak drastis mengakibatkan bencana alam makin sering terjadi. Dilansir dari BBC News Indonesia (16/01/2020), suhu yang tercatat lima tahun terakhir adalah yang terpanas dalam 170 tahun, dengan masing-masing lebih dari satu derajat celsius lebih hangat daripada era pra-industri. Untuk mengatasi krisis perubahan iklim dibutuhkan kesadaran kolektif dari semua kalangan, baik Baby Boomer hingga Gen Z, dari masyarakat biasa hingga ‘kalangan para sultan’, dari sektor swasta maupun institusi pemerintahan.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari institusi pemerintahan turut mendukung berbagai kebijakan pemerintah dalam menekan laju perubahan iklim. Salah satunya melalui pajak karbon yang rencananya akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Pajak karbon akan dikenakan atas barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang mengemisi karbon dan menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Pajak karbon memiliki ketentuan yang memberlakukan tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran, tetapi ditetapkan juga tarif minimum sebesar Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Pajak akan diberlakukan untuk PLTU yang menghasilkan emisi melebihi cap atau batas atas yang ditetapkan.
Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Jauh sebelum wacana pajak karbon didengungkan, di internal Direktorat Jenderal Pajak sendiri telah berupaya menerapkan kantor ramah lingkungan berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Penerapan Kantor Ramah Lingkungan (Program Eco-Office) di lingkungan Kementerian Keuangan.
Ada beberapa hal yang ditekankan dalam Surat Edaran tersebut, di antaranya mewujudkan kantor yang ramah lingkungan dan membentuk budaya pegawai yang sadar dan bertanggung jawab terhadap lingkungan kerja melalui tindakan yang nyata berupa pengurangan sampah plastik dan kertas, penghematan energi listrik dan air, kebersihan ruang kerja/kenyamanan ruang kerja, serta pengelolaan sampah perkantoran.
Namun sayangnya, surat edaran tersebut belum bisa diterapkan secara optimal karena tidak adanya indikator dan evaluasi lebih lanjut. Hal ini diperparah dengan masuknya pandemi Covid-19 di Indonesia setahun setelah surat edaran tersebut dikeluarkan. Penggunaan plastik malah semakin meningkat diakibatkan banyak warung atau restoran yang tidak memperbolehkan makan di tempat dan hanya membungkus makanan (take away). Ujungnya sampah plastik menumpuk dan timbulnya sampah jenis baru berupa masker sekali pakai baik di lingkungan tempat tinggal maupun tempat kerja.
Di Indonesia, menurut data statistik persampahan domestik Indonesia, jenis sampah plastik menduduki peringkat kedua sebesar 5,4 juta ton per tahun atau 14 persen dari total produksi sampah. Rendahnya kesadaran masyarakat ditambah belum memadainya sarana dan prasarana pengelolaan sampah membuat sampah plastik ini sebagian besar berakhir di lautan yang menyebabkan Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik kelautan nomor dua di dunia.
Pada tahun 2020 di masa pandemi Covid-19, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan NPWP Elektronik. Pada bulan Juli 2021 semua wajib pajak yang telah terdaftar dapat memperoleh NPWP Elektronik dengan registrasi di laman pajak.go.id, tinggal login kita langsung dihadapkan pada profil dan NPWP Elektronik yang bisa langsung dikirim ke surel terdaftar.
Sebagai bagian dari generasi milenial, penulis menyambut baik dengan diterbitkannya NPWP Elektronik ini. Selain ‘tidak butuh-butuh amat’ dengan fisik NPWP-nya, NPWP Elektronik dapat memotong ongkos biaya baik dari sisi instansi Direktorat Jenderal Pajak maupun dari wajib pajak, menghemat waktu, dan tentu saja lebih ramah lingkungan.
Banyak kelebihan dari NPWP Elektronik. Pertama, untuk mengurus sesuatu kita hanya perlu mencetaknya dari surel. Kedua, kartu NPWP tidak akan rusak karena dalam bentuk elektronik. Ketiga, NPWP Elektronik lebih ramah lingkungan, kartu fisik NPWP selama ini terbuat dari material plastik jenis Polyethylene Terephthalate (PET) atau Polyethylene Terephthalate Glycol (PETG), bahan baku plastik tersebut umum digunakan untuk membuat ID smart card berbasis RFID. Dengan menggunakan NPWP Elektronik maka kita turut serta mengurangi penggunaan plastik yang tentunya lebih ramah terhadap lingkungan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Leave A Comment